Bagi orang yang ingin menggeluti kesenian tradisional terlebih dahulu  harus dapat menguasai tembang Macapat. Hal ini penting, karena tanpa  menguasai tembang Macapat sulitlah orang menggeluti kesenian tradisional  Jawa, seperti : Karawitan, Wayang Kulit, Ande-ande Lumut, Brambangan,  apa lagi Langen Mandra Wanara. Sebab tembang Macapat merupakan unsur  baku dan induk (babon) kesenian tradisional Jawa. Oleh karena itu,  apabila ingin menggeluti salah satu kesenian tradisional Jawa, sebaiknya  rajin mengikuti Macapatan.
MACAPAT MERUPAKAN UNSUR BAKU BERBAGAI JENIS KESENIAN
Dengan menggeluti seni Karawitan orang mudah menguasai Unsur baku  “ngeng”-nya suatu gending, menguasai tembang gerongan maupun  sindenannya, bawa-swaranya dan lain sebagainya. Tembang-tembang yang  baku itu adalah Macapat, baik Kinanthi, Asmaradana ataupun Dhandhanggula  dan sebagainya. Demikian pula apabila kita mencermati seni pedalangan  (wayang kulit), disamping ada suluk dan odo-odo ada pula unsur baku  lainnya, yaitu : tembang macapat untuk gerongan dan isian gara-gara  serta adanya wejangan orang tua kepada satria.
Terlebih dahulu lagi dalam kesenian ketoprak. Para pemain baku harus  dapat menguasai tembang macapat yang biasanya diiringi dengan gamelan.  Disamping itu harus terampil melagukan dan cekatan mengarang tembang  Asmaradana, Kinanthi, Pucung dan lain-lain untuk “bage-binage” atau  “gandrung”. Demikian pula dalam pentas kesenian tradisional lainnya :  Jatilan, Wayang Orang, Slawatan Jawi (Montro, Genjring, Mondreng dan  lain-lain), Srandul, Brambangan dan sebagainya. Tembang Macapat  merupakan unsur baku, lebih-lebih dalam Langen Mandra Wanara dan  sejenisnya (Langentaya, Purbawanara, Langendriya dan lain-lain).
Tanpa menguasai tembang Macapat, diharapakan untuk tidak ikut berperan,  karena ketrampilan nembang macapat merupakan darah daging pemain Langen  Mandra Wanara.
DARI MACAPATAN
Kesenian tradisional Langen Mandra Wanara dan, sejenisnya berinduk dari  Macapatan. Semula adalah pagelaran Macapatan di Ndalem Mangkubumen, di  kawasan Kraton Yogyakarta, dengan membaca Serat Rama. Sungguh sangat  mengasyikkan, dengan diadakan pembagian kerja. Yang membaca tembang  berisi jalan cerita ada sendiri. Yang membaca uacapan-ucapan Prabu Rama,  Dewi Sinta, Lesmana, Anoman, Prabu Rahwana, Kumbakarna, Trijata dan  sebagainya, masing-masing ada “dhapukan-nya” sendiri, penari sekaligus  melantunkan tembang, tetapi karena dari duduk lesehan (bersila di  tikar), maka menarinya dengan jongkok (Jengkeng), dilengkapi adegan  perang dan sebagainya dan diiringi gamelan, maka jadilah kesenian Langen  Mandrawanara. Apabila dilakukan dengan berdiri dinamakan Langendriya  atau Langendriyan. Ada lagi : Langentaya, Purbawanara dan sebagainya,  Jelaslah, disampaing menjadi unsur baku, tembang Macapat ternyata juga  menjadi induk (babon) kesenian tradisional Jawa.
MENGARANG MACAPAT
Yang baku dalam Macapatan adalah orang karangan yang sudah ada
dengan lagu atau cengkok tembang yang sesuai dengsn watak isi ceritanya.  Tembang Dhadhanggula misalnya, mempunyai cengkok lagu bermacam-macam  (ada sekitar 20 lagu) seperti : Pasowanan, Kanyut, Baranglaya,  Liksuling, Palaran, Kentar, Banjet, Manten Anyar, Semarangan, Turulare,  Majasih, Sedyaasih, Rencasih, Pangajabsih, Tlutur, Banyumasan dan  lain-lain. Setelah ditembangkan, isi bacaan tersebut diperbincangkan  dalam sarasehan untuk mendalami maknanya. Demikian yang terjadi dalam  Macapatan. Namun disamping itu, ada juga Macapatan yang memberi  kesempatan kepada para warganya untuk mengarang cakepan (syair) dari  Macapat. Untuk mengarang Macapat ini, agar sastra Macapat itu baik  bahkan mendekati sempurna, maka karangan harus memenuhi 9 syarat yaitu :  1. guru gatra, 2. guru lagu, 3. guru wilangan , 4. pedhotan, 5.  sasmita, 6. purwakanthi, 7. sengkalan, 8. sandiasma, dan 9. Sesuai  dengan watak tembang.
Memang, cakepan tembang Macapat yang baik itu memenuhi 9 syarat, namun  minimal 3 syarat suatu karangan yaitu : (guru gatra : jumlah baris, guru  lagu : jatuhnya vokal a, i, o, e, u tiap akhir baris ; dan guru  wilangan : jumlah suku kata tiap barisnya) sudah dapat ditembangkan,  walau kurang luwes dan kurang indah.
Contoh : Cakepan tembang PANGKUR karangan baru :
Nusantara kajuwara, (8-a)
Jembar subur tanahnya loh jinawi, (11-I)
Pulonya maewu-ewu, (8-u)
Winengku ing samodra, (8-a)
Rakyat sagung sugih seni adiluhung, (12-u)
Eman yen kesed makarya, (8-a)
Payo sengkud mbangun nagri (8-i).
Terjemahan dalam bahasa Indonesianya (juga dapat ditembangkan) :
Nusantara sungguh tenar,
Luas subur dan kaya hasil bumi,
Beribu-ribu pulaumu,
Dipadukan lautan,
Rakyat kaya kesenian yang bermutu,
Sayang bila malas kerja,
Marilah membangun negeri.
Tembang Macapat yang semula hanya 9, berkembang menjadi 11, dan  sekarang sudah bertambah menjadi 15 buah. Dibawah ini diperkenalkan 15  tembang macapat masing-masing dengan : guru gatra, guru wilangan dan  guru lagunya, berikut watak dan sasmita yang menandai tembang tersebut.  Diurutkan dari guru gatra (jumlah barisnya) paling sedikit (4 gatra)  sampai yang terbanyak (10 gatra).
1. Maskumambang 4 gatra : 12-i, 6-a, 8-i, 8-a. Sedih, terharu, iba, prihatin (kumambang, kentir, ngambang).
2. Pucung 4 gatra : 12-u (4-u dan 8-u), 6-a, 8-i, 12-i. Jenaka, humor, seenaknya, main-main (bapak pucung, kluwak, cung).
3. Megatruh 5 gatra : 12-u, 8-i, 8-u, 8-i, 8-o. Sedih, terharu, prihatin, menyesal (pegat, pegatan, pisah, pedhot).
4. Gambuh 5 gatra : 7-u, 10-u, 8-i, 8-u, 8-o. Jelas, terang-terangan, serba sesuai, setuju (embuh, jumbuh, rujuk).
5. Balabak 6 gatra : 12-a, 3-e, 12-a, 3-e, 12-a, 3-e. Bercanda main-main (bak, blabak).
6. Wirangrong 6 gatra : 8-i, 8-o, 10-u, 6-i, 7-a, 8-a. Berwibawa, mrabu (wirang, rong, mrebawani, mrambu).
7. Mijil 6 gatra : 10-i, 6-o, 10-e, 10-i, 6-i, 6-u. Mendidik, terharu, ngelangut (wijil, wiyos, keluar).
8. Kinanthi 6 gatra : 8-u, 8-i, 8-a, 8-i, 8-a, 8-i. Mendidik, gembira, rukun, cinta (kanthi, kanthen asta, gandheng, renteng).
9. Durma 7 gatra : 12-a, 7-i, 6-a, 7-a, 8-i, 5-a, 7-i. Bersemangat, marah, bertempur (mundur, dur).
10. Asmaradana 7 gatra : 8-i, 8-a, 8-e, 8-a, 7-a, 8-u, 8-a. Prihatin, sedih, cinta (asmara, kasmaran, kingkin).
11. Jurudemung 7 gatra : 8-a, 8-u, 8-u, 8-a, 8-u, 8-a, 8-u. Memikat, menyenangkan (demung, kijuru, mung).
12. Pangkur 7 gatra : 8-a, 11-i, 8-u, 7-a, 12-u, 8-a, 8-i. Gagah, perwira, bersemangat, marah (kur, mungkur, yuda kenaka, yuda).
13. Girisa 8 gatra : 8-a, 8-a, 8-a, 8-a, 8-a, 8-a, 8-a, 8-a. Wanti-wanti, himbauan seriua (giris, ris).
14. Sinom 9 gatra : 8-a, 8-i, 8-a, 8-i, 7-i, 8-u, 7-a, 8-i, 12-a. Lincah, berwibawa, merabu (anom, taruna, sri nata, mudha).
15. Dhadhanggula 10 gatra : 10-i, 10-a, 8-e, 7-u, 9-i, 7-a, 6-a, 8-a,  12-i, 7-a. Gembira, luwes, pengharapan, bersahabat (manis, sarkara/gula,  sinarka, memanise).
 
Tulisan-tulisan seperti ini sungguh amat perlu disebarluaskan sebagai upaya pelestarian budaya sendiri, budaya bangsa Indonesia asli. Apalagi saat ini sebagaian anak bangsa terutama generasi muda sudah banyak yang tidak lagi mengenal hasilkarya para leluhur yang bernilai adiluhung semacam tembang macapat,kerawitan, wayang, tari-tarian dan sebagainya. Karena itu, saya sangat mengapresiasi upaya siapapa pun dan dalam bentuk apa pun untuk melestarikan budaya sendiri. Semoga upaya kita bersama mendapatkan tanggapan yang positif khususnya kalangan generasi muda.
BalasHapus